MAKALAH
KAJIAN HADIS TENTANG KEUTAMAAN MENCARI RIZQI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang
kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia
ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan
akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai
menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami
ucapkan kepada Dosen serta teman-teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil,
sehingga makalah ini terselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya,
baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang
kadangkala hanya menturuti egoisme
pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan
makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik
untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau
menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini (Kajian Hadis Tentang
Keutamaan Mencari Rizqi) sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah
ada.
Cirebon, Juni 2021
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang.................................................................................................. 2
2.
Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
3.
Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Rezeki ............................................................................................ 3
2.2
Landasan Syariah............................................................................................. 3
a.
Hadits tentang
orang memberi lebih baik dari orang yang menerima........ 4
b.
Hadits tentang
menjual kayu bakar lebih baik dari pada meminta-minta... 5
2.3
Macam-macam
Rezeki...................................................................................... 6
2.4
Batasan Rezeki................................................................................................. 7
2.5
Kehidupan Individualis
Dikhwatirkan Melanda Umat Islam.......................... 8
2.6
Aplikasi
Berlandaskan Al-Hadits..................................................................... 8
2.7 Studi Kasus...................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN............................................................................................... 12
3.2 SARAN............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu pokok permasalahan yang
paling mendasar dari permasalahan ekonomi adalah bukan karena kelangkaan sumber
daya alam melainkan karena keserakahan umat manusia itu sendiri. Ia ingin
mendapatkan rezeki yang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri sendiri tanpa
menghiraukan halal ataupun haram dari cara memperolehnya.
Menurut teori ekonomi, masalah
ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas. Artinya
adalah, manusia selagi mempunyai keinginan maka keinginan itu mendorong mereka
untuk memilikinya. Sementara sumber daya yang tersedia untuk memenuhi keinginan
mereka itu terbatas jumlahnya. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, sebab Islam
tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
Rezeki ?
2.
Apa saja
macam-macam Rezeki ?
3.
Apa
batasan-batasan Rezeki ? Makmurt
4.
Bagaimana
kewajiban mencari Rezeki ?
5.
Bagaimana
pendapat Ulama tentang mencari Rezeki ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Rezeki
2.
Mengetahui
macam-macam Rezeki
3.
Mengetahui
batasan-batasan Rezeki
4.
Mengetahui
bagaimana kewajiban mencari rezeki
5.
Mengetahui
bagaimana pendapat Ulama tentang mencari Rezeki
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rezeki
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI), kata rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah
segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh
Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari
penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara
kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya
Adapun defenisi lain, kata rezeki
berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi, رزق berarti pemberian Adapun
menurut istilah, Al-Jurjani menyebutkan ar-rizq berarti segala sesuatu yang
diberikan oleh Allah s.w.t. kepada makhluk-Nya untuk mereka konsumsi, baik
halal atau haram
B. Landasan Syariah
Adapun dalam pandangan Islam,
rezeki bukanlah senata-mata materi, harta, dan benda saja. Apalagi, yang hanya
terbatas karena hasil usaha (kerja) manusia itu sendiri. Rezeki dalam Islam
melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan,
kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan,
hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya. Sebagaimana
yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan di dalam Al-Qur’an yang artinya: “dan
di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang
untuk disembelih. makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-An’am: 142) MAk
Kemudian itulah mengapa Allah
s.w.t. mengingatkan manusia bahwa nikmat (rezeki) Allah terhadap manusia
sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah s.w.t. telah menyediakan
untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan
kondisi.
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat
kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim: 34). Allah s.w.t. memang memberikan
rezeki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan rezeki yang
mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu? Allah s.w.t. menegaskan dalam
Al-Qur’an: “Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. Al-Hajj: 50) .
Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir
mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar
firman Allah Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rezeki yang mulia,’ maka rezeki yang
mulia itu adalah surga.”
Dengan demikian, maka sebaik-baik
rezeki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan
dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang
dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rezeki yang mulia.
Sangat tidak patut bahkan sangat
tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta.
Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya
karena alasan kemiskinan. Sebab, rezeki yang paling mulia adalah surga, bukan
harta atau benda. Itulah sebabnya mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah
berbangga dengan rezeki yang didapatkan berupa harta dan benda yang dimiliknya.
Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rezeki yang mulia
di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena
kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang
mulia di sisi-Nya (copy)
A.
Hadits tentang orang memberi lebih baik dari orang yang menerima
حدثنا اَبُوالنُعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَأ حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ عَنْ اَيُّوْبَ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ التَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
يقول : قال َّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ
وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وِ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ
مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَاهي الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَىهي السَّائِلَةُ
{البخارى في كتاب الزكاة}[3]
Bercerita kepada kita Abu Nu’man berkata
telah bercerita pada kita Khammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’ bin Umar r.a
dia berkata: saya telah mendengar Nabi Saw bercerita kepada kita Abdullah bin
Maslamah dari Malik bin Nafi’. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a : di
atas mimbar Rasulullah SAW berbicara tentang sedekah, menghindari dari meminta
pertolongan (keuangan) kepada orang lain, dan mengemis kepada orang lain,
dengan berkata “tangan atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas
adalah tangan yang memberi, tangan di bawah adalah tangan yang mengemis”.
B.
Hadits tentang menjual kayu bakar lebih baik dari pada meminta-minta
حدثنا يحي بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن
ابن شهابٍ عن أبي عبيد مولى عبد الرحمن بن عوف أنه سمع ابا هريرة رضي الله عنه يقول
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب احدكم حزمة على ظهره خير له من ان يسال
احد فيعطيه او يمنعه {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[5]
Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir
bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula
Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia
berkata : Rasulullah bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas
punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis
kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”.
Makna hadits tersebut adalah bahwasanya
Rasulullah SAW menganjurkan untuk kerja dan berusaha serta makan dari hasil
keringatnya sendiri, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap
muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu
jika mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri
dari perbuatan meminta-minta karena Islam sebagai agama yang mulia telah
memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Dalam menari rizki harus mengenal
ketekunan dan keuletan. Rasulullah memerintah mereka bekerja dengan kemampuan
kerja dan memberinya dorongan agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas
kasihan orang lain. Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya
datang kepada mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam surat
al-Isra’ ayat 84 menyatakan bahwa seseorang harus bekerja(Copy) sesuai dengan bakat
dan kemampuan :
Katakanlah: "Tiap-tiap orang
berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui
siapa yang lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)
C. Macam-macam Rezeki
Menurut Syaikh Abdur Razzaq bin
Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, rezeki Allah s.w.t. bagi hamba-Nya ada dua macam:
1. Rezeki yang umum yang mencakup orang
yang baik dan jelek, yang mukmin dan kafir, yang pertama dan yang terakhir,
yaitu rezeki badan. Allah s.w.t. berfirman yang artinya: “dan tidak ada suatu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[8], semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6).
Jika Allah memberi rezeki dan anak
keturunan kepada orang kafir dan melapangkannya bukan berarti Allah ridha’
terhadapnya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, Allah berfirman yang
artinya: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan
kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar
2.
Rezeki yang khusus, yaitu rezeki hati dan siramannya berupa ilmu, iman,
dan rezeki halal yang dapat memperbaiki agama seorang hamba. Dan ini khusus
bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkatan mereka darinya, sesuai
dengan ketentuan hikmah dan rahmat-Nya. Dan Allah menyempurnakan kemuliaan-Nya
bagi mereka dan menganugerahkan kepada mereka surga yang penuh dengan
kenikmatan pada hari kiamat[10]. Sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam
al-Qur’an yang artinya: “(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu
ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan
Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah
memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 11)
D. Batasan Rezeki
Batasan rezeki dalam kehidupan
manusia harus diperluas agar setiap saat kita tetap bersyukur kepada Allah
s.w.t. atas nikmat yang telah Allah s.w.t. berikan tidak hanya sebatas harta
kekayaan semata melaikan semua aspek yang berkitan dengan kehidupan baik di
dunia maupun di akhirat.
Konteks rezeki bisa bermacam-macam
wujudnya, contohnya; penciptaan kita sebagai manusia makhluk yang mempunyai
banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang
lainnya, penciptaan langit dan bumi dari sanalah Allah menghampar
rezeki-rezekinya untuk manusia yang mau terus berusaha, berfungsinya akal yang
kita miliki dengan baik dan normal, keimanan dan keislaman adalah rezeki,
sehat, hujan, kemarau, kehidupan, ilmu yang bermanfaat, saudara seiman
merupakan sebagian kecil rezeki yang Allah berikan.
Jika konteks rezeki demikian luas,
mengapa kita mempersempit makna rezeki itu sendiri hanya dalam batas kekayaan
semata? Kita sebagai manusia kadang sangat lupa karunia yang Allah berikan
kepada kita sebagai manusia, bila saja kita diciptakan sebagai hewan apakah
kita akan menikmati rezeki yang Allah berikan layaknya kita sebagai manusia?
Manusia adalah makhluk yang terkadang melupkan rasa syukur terhadap rezeki yang
Allah berikan. Selayaknya sebagai manusia yang memiliki iman kita tetap
berusahan memperoleh rezeki yang telah Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya
dan terus berusaha di jalan Allah dengan cara halal dan baik(Copy)
E. Kehidupan Individualis Dikhwatirkan Melanda
Umat Islam
Manusia merupakan makhluq sosial yang
saling membutuhkan, tolong menolong dan tidak bisa hidup sendiri. Dalam
pandangan islam seseorang tidaklah sempurna imannya sehingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan
saudara bukanlah sanak familinya, akan tetapi kaum muslimin.
Dalam kitab shahih muslim no 4867
Rasulullah menjelaskan tentang sifat buruk individualisme:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ عَنْ مُسْلِمٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ
الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ.
Artinya :
“Dari Abu Hurairoh berkata, Rasulullah SAW.
Bersabda, ‘’barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari
kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan
hari kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah,
niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang
siapa menutupi aib seorang muslim,
niscaya Allah menutupi aib diadi dunia dan di akhirat. Dan Allah
selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya menolong saudaranya.
Hasil dari pentakhrijan hadits
diatas terdapat beberapa hadits serupa diantaranya adalah:
1.
At Tirmidzi bab
lahdud an rasulullah no 1345
2.
Abu Dawud bab
sholat no 1243
3.
Abu Dawud bab
Adab no 4295
4.
Ibnu Majjah bab
muqadimah no 221
5.
Imam Ahmad bab
baqi musanad limukasirin no 7118
6.
Ad Darimi bab
muqadimah no 348
Penilaian hadits ini pada CD Mausu’ah
adalah hadits marfu’.
Hadits tersebut mengajarkan kepada umat islam untuk selalu tolong
menolong, dan juga menutupi aib orang lain atau tidak menyebarkan aib orang
lain karena hal tersebut bisa menjadi ghibah dan fitnah, dan sesuai dengan
hadits di atas terdapat empat poin penting yaitu
1. tolong menolong sesama muslim, dalam
Al-Qur’an Allah menjelaskan tentang manfaat menolong sesama muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya :
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.’’ (QS. Muhammad : 7)(Copy)
Ayat diatas menerangkan bahwa apabila
menolong agama Allah dan sesama muslimin maka Allah juga akan menolongnya.
2. Memudahkan kesulitan orang lain,
terkadang kesulitan tersebut hanya bisa diatasi oleh seseorang yang
bersangkutan, terhadap masalah seperti ini seorang muslim ikut memberi solusi
meskipun ia sendiri tidak dapat mengatasinya sendiri, dengan cara seperti ini
seseorang yang kesulitan pasti akan melonggarkan kesulitannya.
3. Menutupi aib orang lain dan mencegah
orang berbuat dosa, sebagai orang islam, kita wajib menjaga aib orang lain yang
mana orang tersebut pasti akan malu apabila aibnya tersebar kepada orang lain.
Dalam Hadits menjelaskan yang artinya “barang siapa yang menutupi aib seorang
muslim maka Allah akan menutupi aibnya”.
Menutupi aib orang lain bukan berarti
menutupi kesalahan orang lain, kebanyakan orang sekarang sudah menyamakan
antara aib dan kesalahan.
4. Allah akan menolong hamba-Nya selama
hamba itu menolong saudaranya, seseorang yang menolong orang lain denagn materi
hendaknya ia tidak boleh merasa khawatir akan jatuh miskin, sebaliknya Allah
akan menggantikan jauh kali lipat apabila dia ikhlas karena Allah maha kaya,
pengasih lagi maha penyayang.
Pada hakikatnya Allah menjadikan adanya
perbedaan seseorang dengan yang lainnya yaitu untuk saling melengkapi, saling
membantu, saling tolong menolong.
F.
Aplikasi Berlandaskan Al-Hadits
Ummat manusia telah dijadikan
sebagai ummat yang lebih mulia dibanding kebanyakan makhluk-Nya. Sehingga
merupakan suatu kehinaan bagi mereka bila mereka merendahkan dirinya dengan
mengagungkan dan mengibadahi sesama makhluk, misalnya sapi, ular, kerbau, jin,
wali, Nabi, atau senjata dan lainnya. Padahal kedudukannya sama atau bahkan lebih
rendah dibanding mereka, bahkan kebanyakan mereka diciptakan di dunia ini untuk
kepentingan manusia
Qatadah rahimahullahu ta’ala
berkata yang artinya: “Tidaklah ada suatu perangai baik yang pernah diyakini
dan diamalkan kaum Jahiliyyah zaman dahulu melainkan telah Allah perintahkan.
Dan tiada perangai buruk yang dahulu mereka jadikan bahan celaan kecuali telah
Allah larang. Dan sesungguhnya yang Allah larang hanyalah perangai-perangai
yang rendah dan tercela”(Copy)
Diantara bentuk akhlak dan
kepribadian mulia yang diajarkan oleh Islam kepada ummatnya adalah sifat
mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain dalam setiap keperluan
hidupnya. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: ”Tidaklah
ada seseorang yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada makanan hasil
dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihissalam makan
dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.” Dalam hadits ini, Rasulullah s.a.w.
secara khusus menyebutkan bahwa Nabi Dawud a.s. makan dari hasil pekerjaan
tangannya sendiri, ini dikarenakan beliau adalah seorang Nabi yang diberi
kekayaan dan kekuasaan, akan tetapi walau demikian adanya, beliau tidak mau
memakan kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri
Pada hadits yang lain, Rasulullah
s.a.w. bersabda yang artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu'allaa bin Asad
telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam dari bapaknya dari Az-Zubair
bin Al-'Awwam radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari
seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu
Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia
meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau
menolaknya". (HR. Bukhari)
Dan juga dalam hadits lain yang
berkaitan dengan hadits di atas adalah sabda Rasulullah s.a.w. yang artinya:
“Tangan yang di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah, tangan yang di
atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan
peminta.”
Oleh karena itu, dahulu para
sahabat dan ulama salaf bekerja guna mencukupi kebutuhannya sendiri atau
mencari rezeki, ada yang berdagang, ada yang bercocok tanam, dan ada yang
menjadi pekerja tanpa ada rasa sungkan atau gengsi.
Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari
dan Muslim, yakni yang artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim
berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya -yaitu Ibnu Abu
Katsir- dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa 'Umar radhiyallahu 'anhu
ketika berdiri memberikan khuthbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang
laki-laki masuk (Masjid). 'Umar lalu bertanya, "Kenapa anda terlambat
shalat?" Laki-laki itu menjawab: "Aku tidak tahu hingga aku mendengar
adzan, maka aku pun hanya berwudhu." Maka "Umar berkata,
"Bukankah kamu sudah mendengar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: 'Jika salah seorang dari kalian berangkat shalat jum'at hendaklah
mandi, Sahabat ‘Umar bin Khaththab r.a. tidak mencela sahabat ini karena ia
bekerja mencari rezeki, akan tetapi mencelanya karena ia terlambat hadir shalat
jum’at dan melupakan kewajiban mandi sebelum menghadiri shalat jum’at
G.
Studi Kasus.
DR. Fadl-ul-Ilahi dalam bukunya
yang berjudul Mafaatihul Rizq fi Daw’ Al-Kitab wa Al-Sunnah, pengarang
mengetengahkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan sebab
dibukanya pintu-pintu rezeki. Seperti firman Allah s.w.t. dalam surah Nuh ayat
10-12, surah Hud ayat 3 dan 52. Dalil dari sunnah seperti hadits yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. “Barang siapa memperbanyak Istighfar
maka Allah akan menjadikan setiap kesulitan jalan keluar dan setiap kesempitan
akan mengantikan dengan keluasan, serta memberikan rezeki dari jalan yang tidak
disangka-sangkakan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nisa’i, dan Hakim).Copy)
Dan yang perlu di pahami adalah
rezeki dan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menggantungkan rezeki
semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan adalah kesalahan, sebagai mana
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi telah memperingatkan dalam bukunya “Rezeki”
(Gema Insani Press, 1995), Allah maha luas rezeki-Nya.
Mengantungkan rezeki semata-mata
pada pekerjaan yang kita lakukan sama dengan mempersempit pintu rezeki, padahal
Allah membukanya lebar-lebar untuk kita. Akan tetapi mengharapkan rezeki dari
Allah tanpa mau memeras keringat dengan kerja yang meletihkan, sama halnya
dengan mengangap sepi nasihat Nabi s.a.w. yang artinya: “Sesungguhnya, bekerja
mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah-ibadah fardu”
(HR At-tabrabi dan Baihaqi).
Barang kali, hadits diataslah yang
menginspirasi rakyat Pakistan sehingga mencantumkan makna hadits ini disetiap
uang kertas mereka “Husule rizq halal ibadat hay”.
Kesulitan demi kesulitan yang
dihadapi oleh masyarakat dalam masalah mencari rezeki menjadikan mereka
mengkambinghitamkan agama dan hal ini sangat berbahaya sekali karena pada akhirnya
nanti masyarakat akan anti pada agama.
Pemahaman ini harus disampaikan
kepada masyarakat luas. Tanpa itu maka jangan heran kalau orang Islam sendiri
akan anti kepada Islam karena gara-gara mereka berangapan “Aturan agama
menyulitkan untuk memperoleh rezeki”. Para da’i harus andil dalam hal ini,
karena dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara dalam “kacamata”
masyarakat orang kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang
miskin. Maka sebagai seorang calon da’i kita harus pandai untuk mencari jalan
dan solusi dalam memudahkan mereka dalam mencari rezeki. Setelah kita memenuhi
kebutuhan mereka barulah mereka akan mendengar nasehat-nasehat agama yang kita
sampaikan.
Praktik-praktik semacam ini adalah
cara-cara yang paling berhasil yang pernah dilakukan oleh para misionaris
Kristen dalam memurtadkan umat islam ditanah air.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rezeki memiliki dua arti yaitu,
Pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan
(yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu
kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan
memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya.
Adapun defenisi lain, berarti
segala sesuatu yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada makhluk-Nya untuk mereka
konsumsi, baik halal atau haram.(Copy)
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
dipenulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya. Kritik dan saran
Menerapkan konsep rezeki ini dalam
menjalani kehidupan sehari-hari demi terciptanya kegiatan perekonomian yang
sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah (Copy)
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,
Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata
Publishing.
Arsyad,
Jahrudin. 2008. 10 Pintu Rezeki 9 Dibuka Lewat Jalur Bisnis.
Tangerang. Irsyad Publishing.
Asadullah
Al-Faruq. 2012. Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Solo. As-Salam Publishing.
Chaudry, Muhammad
Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar. (Penj. Suherman
Rosyidi). Jakarta. Kencana.
Departemen
Agama RI Badan Litbang dan Diklat. 2009. Tafsir Al-Qur’an Tematik.
Pembangunan Ekonomi Umat. Penerbit. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Jakarta.
Djuwaini,
Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Penerbit.
Pustaka Pelajar.
0 Comments:
Posting Komentar